Selasa, 18 Januari 2011

Tati Sumirah,Ratu Bulutangkis INDONESIA yang terlupakan !!

Tati Sumirah (55 tahun). beliau adalah mantan pebulutangkis indonesia di era 70'an. beliau juga termasuk pebulutangkis yang mempunyai segudang prestasi loh gan ! Pada masa kejayaan dulu, Tati selalu merebut emas di arena Pekan Olahraga Nasional (PON). Ia juga meraih peringkat kedua kejuaraan dunia bulutangkis di Jakarta dan Kuala Lumpur, Malaysia. Prestasi tertingginya mengantarkan tim bulu tangkis single putri merebut Piala Uber pada 1975. pebulutangkis perempuan seangkatan Liem Swie King ini menjadi ratu. Ia bukan hanya ratu dalam negeri, tapi juga ratu bulutangkis kelas dunia.


Namun setelah menggantungkan raket pada 1981, kehidupannya berubah drastis. Tak ada lagi yang mengelu-elukannya. Ia seolah menghilang dari para penggemarnya. Bintang itu pelan-pelan pudar. Selama 24 tahun Tati Sumirah bekerja di Apotek Ratu Mustika di bilangan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan. Kasir, itulah profesi baru si ratu bulutangkis.

Si ratu itu berangkat dan pulang kerja dengan angkutan umum. Ia tinggal di rumah orang tuanya di Waru Doyong, Buaran, Jakarta Timur. "Saya nggak malu. Saya terima apa adanya," kata Tati saat ditemui VHRmedia di rumahnya.

Profesi kasir apotek bukanlah pekerjaan yang ia bayangkan. Semua berawal saat ia bertemu Yusman, warga Gudang Peluru, Tebet, yang merupakan pengagumnya. Melihat Tati Sumirah tak punya pekerjaan, Yusman pun mempekerjakannya sebagai kasir di apotek miliknya. Yusman juga mengangkat pebulutangkis kesohor, Ivana Lie, sebagai anak angkat.

Sebagai kasir, Tati mulanya digaji Rp 75 ribu per bulan. Selama mengikuti Pelatnas pada 1979, Tati menerima "gaji buta" dari apotek itu, sebab dalam sebulan ia hanya bekerja selama sepekan. Setelah pensiun pada 1981, barulah ia bekerja penuh waktu di apotek itu. Sebenarnya gaji Tati tak mencukupi. Apalagi sulung enam saudara ini harus menanggung hidup ibu dan dua adiknya. Akhirnya, pada Desember 2005 Tati berhenti kerja dari tempat itu. Gajinya waktu itu Rp 800 ribu per bulan. "Saya harus beli sembako, bayar listrik. Pokoknya semuanya saya," ungkap perempuan yang masih melajang ini.

Ia sempat menganggur sekitar empat bulan. Akhirnya ada ajakan bermain di turnamen antarveteran pebulutangkis di Mangga Besar, Jakarta Barat. Acara ini dimotori Alan Budikusumah, mantan bintang bulutangkis yang kini menjadi pengusaha peralatan bulu tangkis. Alan memberikan semua peralatan secara gratis: raket, kaos, celana pendek, sepatu, hingga tas raket. "Senang dapat pekerjaan lagi, karena saya bingung kalau belum dapat kerjaan," keluh wanita bertinggi badan 170 sentimeter ini.

Karena ikut turnamen, Tati kembali memegang raket setelah 24 tahun ia tanggalkan. Untuk pertama kalinya pula ia kembali berkumpul dengan rekan-rekannya sesama pebulutangkis. Ia menang dan mendapatkan hadiah sepeda motor. "Selama kerja 24 tahun menjadi pebulutangkis, saya nggak punya apa-apa," katanya. Sejatinya Tati pernah merasakan memiliki sepeda motor dari jerih payahnya di lapangan bulutangkis. Ketika Indonesia menjuarai Piala Uber, Tati dan rekannya memperoleh bonus Rp 1 juta dari Presiden Soeharto. Dari hadiah itu ia membeli Vespa seharga Rp 464 ribu. Namun pada 1992 ia terpaksa menjual motor kesayangannya itu karena terdesak kebutuhan hidup.

Bersama dua rekannya, Tati menjadi pelatih bulutangkis di Pekayon, Bekasi, Jawa Barat. Ia bekerja dari Senin sampai Jumat. Namun hanya bertahan setahun. "Badan saya mulai sakit," kata Tati. Hingga akhirnya ia diangkat sebagai pegawai oleh Rudy Hartono, juara All England delapan kali, untuk bekerja di Top One. Di perusahaan minyak pelumas itu Tati bekerja di Bagian Umum. "Tugas saya mengontrol kantor dan lapangan," ujarnya.

Meski keadaannya cukup memprihatinkan, Tati menerima semua itu. Namun ekonomi keluarganya masih morat-marit. Bahkan, telepon rumah atau telepon genggam pun Tati tak punya. "Kalau pasang telepon, dari mana uangnya?" katanya. Walau miskin di usia tua, Tati tak pernah menyesal menjadi atlet. Apalagi ia berasal dari keluarga atlet. Ayahnya, MS Soetrisno, adalah seorang atlet, penjaga gawang dan petinju. Sang ayah pula yang mendorongnya menjadi atlet.

Kini, sederet medali dan piala yang pernah diraih Tati masih disimpan di rumah orang tuanya. Piala dan medali itu tak terawat, sebagian sudah karatan. Namun semua itu ia taruh di dalam kotak. Ia mengaku tidak mau mengingat kejayaannya di masa lalu. "Saya sudah tidak mau ingat lagi. Sedih saya! Sekarang hidup saya seadanya dan serba kekurangan," ujarnya.

Raut wajahnya tiba-tiba menjadi muram. Kesedihan terpancar di wajahnya yang menua. "Semoga atlet-atlet lama dibantu pemerintah. Saya seneng bener kalau dapat rumah," kata Tati diiringi tawa sumbang.


atlit-atlit jaman dulu itu kalo misal nya lagi tanding dalam jangka internasional semacam thomas dan uber cup gini,mreka hanya mikir 1 hal,yaitu berusaha sekuat tenaga untuk menang dan mengharumkan nama bangsa..ga lebih dari itu,lain hal nya dengan atlit skarang yang kalo menang dapet bonus jutaan bahkan puluhan juta rupiah.

Skarang kehidupan sang ratu bulutangkis ini sangat-sangat miris. .bekerja jadi kasir dgn penghasilan pas-pasan. bayangin aja selama 24 tahun jadi pebulutangkis beliau ga dapet apa-apa.

Senin, 17 Januari 2011

Ferry Sonneville ^Pahlawan Olahraga Indonesia^

Indonesia berduka. Ferry Sonneville, ‘pahlawan’ tiga kali meraih Piala Thomas, meninggal dunia di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta Selatan, pukul 05.20 WIB, Kamis 20 November 2003. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI) ini, tutup usia akibat kanker darah (leukemia) yang telah diderita selama satu setengah tahun. Jenazah Ferry dikremasi di Krematorium Nirwana, Bekasi, Sabtu (22/11) pukul 10.00, setelah diadakan misa requiem di Gereja Katedral, Jumat (21/11).

Pebulu tangkis Indonesia di era 1950 hingga 1960-an ini pantas disebut sebagai pahlawan olahraga Indonesia. Pria kelahiran Jakarta 3 Januari 1931 ini, gigih berjuang demi kejayaan olahraga Indonesia. Ia ikut mendirikan PB PBSI (1951), ikut mendirikan KONI (1966), Ketua Umum KONI (1970), anggota Pengurus Asian Games Federation Council (1970), Chef de Mission kontingen Indonesia ke olimpiade (1971), Presiden International Federation Badminton/IBF (1971-1974), dan Ketua Umum PBSI (1981-1985).

Semasa mudanya, bahkan ia rela mengorbankan kuliahnya di Amerika untuk memperkuat tim Indonesia meraih Piala Thomas pertama kali pada 1958. Ia ikut berjuang dan berjaya merebut dan mempertahankan Piala Thomas tiga kali berturut-turut 1958, 1961 dan 1964. Ia menjadi Kapten bermain/Pelatih Indonesia (1958, 1961 dan 1964).

Pada saat merebut Piala Thomas pertama kali, Tim Indonesia yang diperkuat Ferry Sonneville, Tan Joe Hok, Eddy Yoesoef, Nyoo Kim Bie, Tan King Gwan, Lie Po Djian, dan Olich Solihin tampil menggemparkan ketika membabat sang juara bertahan Malaya, 6-3 di final.

Selain dalam beregu, Ferry yang memiliki rambut putih sejak usia 19 tahun, itu juga mengukir prestasi di nomor perseorangan, dengan menjuarai Belanda Terbuka (1955-1961), Glasgow (1957), Prancis Terbuka (1959-1960), Kanada (1962), serta runner up All England (1959) dikalahkan Tan Joe Hok di final.

Kesenangannya pada dunia olahraga mengalir dari darah kedua orang tuanya. Ayahnya, Dirk Jan Sonneville adalah jago olah raga tenis sebelum Perang Dunia II. Ibunya, Leonij Elisabeth Hubeek adalah juara bulu tangkis antara tahun 1935-1945.

Ia seorang tokoh olahraga Indonesia yang hidupnya lengkap. Selain hebat sebagai pemain bulu tangkis, juga sukses di bidang studinya, gemilang ketika memegang pucuk pemimpin organisasi olahraga, pemimpin akademi, maupun pemimpin organisasi pengusaha.

Ferry yang terlahir dengan nama Ferdinand Alexander Sonneville, ini tidak hanya andal sebagai pemain, Ferry juga andal dalam berorganisasi. Ia orang Indonesia pertama menjabat Presiden Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF) untuk tiga kali masa jabatan tahun 1972-1975. bahkan di dalam negeri, Ferry bersama Sudirman, Ramli Rikin, Sumantri, dan kawan-kawan, yang mendirikan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) tahun 1951. Kemudian, ia menjabat Ketua Umum PB PBSI periode 1981-1985.

Alumni Erasmus University, Belanda, ini saat menjabat Ketua Umum PBSI dikenal sebagai pemimpin yang sangat akomodatif dan mampu melakukan pendekatan-pendekatan personal kepada para pemain. Setidaknya hal ini tercermin dari pengakuan Icuk Sugiarto, juara dunia bulu tangkis 1983. Icuk mengatakan, "Beliau selain bertindak sebagai ketua umum, juga mampu bertindak sebagai bapak. Beliaulah yang mengantarkan saya menjadi juara dunia 1983."

Ferry yang dikenal sebagai seorang yang ulet dan suka tantangan ini juga aktif dan sukses di semua bidang yang didumulinya. Saat Ferry menjadi karyawan Bank Indonesia di Amsterdam (1964), ia merintis lahirnya International Governmental Group on Indonesia (IGGI). Ketika itu, ia mengusulkan kepada Pemerintah RI untuk mengundang Prof Jan Tinbergen, ekonom kondang Belanda dengan reputasi internasional.

Di bidang usaha, Ferry sempat pula membangun perusahan di bidang pariwisata yakni, Vayatour. Perusahaan itu didirikan pertama kali oleh kakak beradik dr. Hoksono Haditono dan (alm) Prakasito Hadisusanto. Perusahaan ini didirikan dengan maksud mendukung animo masyarakat yang pada waktu itu sangat antusias pada tim bulutangkis Indonesia. Usaha utama yang dilakukan saat itu adalah menangani acara perjalanan ke luar negeri dalam kaitannya menampung animo pendukung tim bulutangkis Indonesia.

Di bidang usaha properti, ia juga sukses. Ia ikut terlibat di berbagai perusahaan yang membangun perumahan, kawasan komersial, perkantoran, pengembangan industi dan pusat rekreasi. Dia adalah Chairman Executive Board pada PT. Lippo Cikarang, yang mengembangkan kota baru di Cikarang, Bekasi. Ia juga pemilik perusahaan PT. Ferry Sonneville & Co yang antara lain mengembangkan perumahan Feery Sonneville di Bukit Sentul. Ia pernah menjabat Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) periode 1986-1989, dan Presiden dan Anggota Executive Committee Federasi Realestat Internasional (FIABCI) sejak 1989.

Pada tahun terakhir, pemegang bintang jasa kelas III dari Presiden (pertama) Bung Karno (1964), ini berniat menulis buku otobiografinya, tetapi tak kesampaian." Menurut Cynthia Givendolyn (45), anak bungsu dari tiga anak almarhum, di sela-sela menerima pelayat di rumah duka, Rumah Sakit Kanker Dharmais, Slipi, Jakarta Barat, 20/11/03, penulisan buku itu mudah-mudah dapat mereka lanjutkan.

Ferry adalah sosok manusia bersahaja yang bergaul secara global. Ia sembilan tahun menetap di Rotterdam, Belanda, sejak tahun 1955. “Ia berdarah Belanda, Cina, dan Indonesia, tetapi nasionalismenya tak diragukan.," kata Tan Joe Hok, pebulu tangkis Indonesia pertama menjuarai turnamen paling bergengsi di bulu tangkis dunia, All England, tahun 1959, dengan mengalahkan Ferry Sonneville di final. Ferry menikah dengan Yvonne Theresia de Wit September 1954, dan dikaruniai tiga anak. Pada akhir hayatnya, ia mempunyai dua cucu dari anak keduanya, Genia Theresia, yang kini bermukim di Hongkong. Anak sulungnya, Ferdinand Rudy, sudah terlebih dulu meninggal di London, Inggris, tahun 1976, ketika masih berusia 21 tahun.

Ia dididik dalam keluarga bersahaja dan mandiri. Lingkungan keluarga ini membentuknya memiliki kemandirian dan kegigihan berusaha. Karier olahraga dimulai bukan pada bulu tangkis, melainkan olahraga bela diri Jiujitsu. Bahkan ia sempat mejadi pelatih olahraga tersebut pada 1949-1955 dan sempat menjadi orang yang turut membangun Persatuan Judo Seluruh Indonesia. Anak didiknya di antaranya adalah Faisal Abda'oe (mantan Dirut Pertamina), Marsekal R. Oetomo (Mantan KSAU), dan Ahmad Bakrie (pendiri Bakrie & Brothers). Ketika perkembangan bulutangkis di Indonesia mulai bangkit pada tahun tersebut, ia pun ikut bergabung.

Setelah lulus dari sekolah di Jakarta, ia melanjutkan studi ke sekolah ekonomi Erasmus University di Rotterdam, Belanda. (1955-1965) dan sempat bekerja di Bank Indonesia cabang Rotterdam. Kendati sudah bekerja, Ferry tidak sepenuhnya meninggalkan dunia bulutangkis. Bahkan pimpinan di kantornya malah menyuruh Ferry berlatih bulutangkis dan bergabung dalam tim Piala Thomas Indonesia.

Di bidang pendidikan ia adalah Perintis Yayasan Trisakti mewakili Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB), pendiri Himpunan Pembina Perguruan Tinggi Swasta (HIPPERTIS), pendiri Asosiasi Perguruan Tinggi Katholik Indoneisa (APTIK), Warga Utama dan Anggota Yayasan Atma Jaya, Anggota Yayasan Fatmawati, Anggota Yayasan Bhakti Medika dan Anggota berbagai lembaga kesejahteraan sosial seperti Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC), Yayasan Gedung Arsip Nasional, Forum Indonesia Nederland (FINED), dll.

Di dunia internasional dia juga dikenal ketokohannya antara lain sebagai Presiden FIABCI (1995-1996), Presiden International Badminton Federation (1971-1974) dan Chairman Advisory Council of International Executive Corps for Indonesia (1981-1997).

Pemerintah Indonesia menghargai semua karya dan jasa kepada bangsa dan negara itu antara lain dalam bentuk penganugerahan Satya Lencana Kebudayaan (1961), Tanda Jasa Bintang RI Kelas II (1964). Dari masyarakat internasional dia menerima ”Knighthood” dari Gereja Katolik Roma (1972) dan FIABCI Medal of Honour, Melbourne (1988).

Christian Hadinata ^Legenda Hidup Bulutangkis Indonesia^

Nama Christian Hadinata layak menjadi simbol kekuatan bulutangkis Indonesia. Dia adalah legenda hidup yang berhasil mengukir prestasi internasional baik ketika menjadi pemain, pelatih, maupun saat ini sebagai pengurus Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia.

Lahir di Purwokerto, 11 Desember 1949, Christian tidak menyangka akan menjadi pebulutangkis andal. Waktu kecil, cita-citanya justru menjadi pemain sepakbola. Sebagai keluarga sederhana, Christian merasa bulutangkis adalah olahraga yang mahal. Untuk bermain diperlukan raket, senar, sepatu, dan suttlekock. Hal itu belum ditambah dengan biaya menyewa tempat latihan.

Sampai lulus SMA di Purwokerto, Christian belum tertarik dengan bulutangkis. Padahal, saat itu usianya sudah 16 tahun, usia yang cukup tua untuk memulai olahraga sebagai prestasi. Bandingkan misalnya dengan Michael Owen yang sejak balita sudah muali menendang bola dan sebelum menginjak 17 tahun sudah mulai debut sebagai pemain profesional bersama klub Liverpool. Atau, Wayne Rooney yang bergabung dalam klub Everton di usia 17 tahun telah dipercaya pelatih nasional kesebelasan Inggris Sven Goran Erricson untuk membela The Three Lions.

Setelah lulus SMA, Christian diajak kakak sulungnya tinggal di Bandung. Di sanalah ia dimodali sang kakak untuk bermain bulutangkis, dan ia pun masuk klub Mutiara. Suatu kali ia diajak kakak sulungnya itu ke Jembatan Semanggi (Jakarta) untuk melihat Stadion Senayan. Ketika ia ingin mendekat menuju Stadion itu, kakaknya bilang, "Sudah, dari jauh saja, nanti juga engkau akan ke sana."

Prestasi emas Christian dicetak pertama kali tahun 1971 sebagai pemain ganda putra dan ganda campuran. Di ganda putra berpasangan dengan Atik Jauhari menjadi juara nasional. Sedangkan di ganda campuran menjadi juara Asia berpasangan dengan Retno Kustijah.

Selanjutnya, dengan bergabti-ganti pasangan, Christian dapat mencapai prestasi terbaik seperti dengan Ade Chandra, menjuarai Asian Games 1978, All England 1972 dan 1973, serta juara dunia 1980. Bersama Boby Ertanto juara di All England 1983 dan Indonesia Terbuka 1984. Dengan Lius Pongoh menang di Jepang Terbuka 1981. Berpasangan dengan Imelda Wiguna memenangi All England 1979 dan juara dunia 1980. Main bersama Ivana Lie berjaya di Asian Games 1982, Indonesia Terbuka 1984, dan Piala Dunia 1985. Sepanjang enam kali memperkuat Tim Piala Thomas (1972-1986), Christian bersama pasangannya (siapa pun dia) selalu merebut poin. Di ajang beregu itu Christian pernah berjodoh dengan Hadibowo dan Liem Swie King.

Pada tahun 1986 atau dalam usia 37 tahun Christian pensiun sebagai pemain. Usia 37 adalah usia yang cukup tua untuk ukuran atlet bulutangkis. Hanya atlet tertentu yang rajin menjaga penampilan saja mampu bertahan di usia setua itu.

Setelah gantung raket, Christian beralih menjadi pelatih. Ia ingin mewariskan "tradisinya": "menjadi pemain terbaik" kepada anak-anak asuhnya. Dari tangannyalah lahir pasangan-pasangan Ricky Achmad Subagdja/Rexy Mainaky, Gunawan/Bambang Suprianto, dan Denny Kantono/Antonius. Christian juga ikut membentuk Candra Wijaya/Sigit Budiarto, Tony Gunawan/Halim Haryanto, yang dengan kombinasi pasangannya telah merebut emas di Olimpiade 2000 dan dua gelar juara dunia, tahun 1997 dan 2001, serta memberi fondasi yang kuat bagi pemain-pemain muda saat ini.

Kemenangan Tim Piala Thomas Indonesia bulan Mei 2002 di Guangzhou semakin lengkap saat Christian Hadinata melangkah ke podium kehormatan dalam upacara yang khusus digelar baginya. Komposisi Pomp and Circumstances March karya Edward William Elgar (1857-1934) yang mengalun terasa megah mengiringi penganugerahan Hall of Fame-penghargaan tertinggi di dunia bulu tangkis-oleh Presiden Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF), Korn Dabaransi.

Christian adalah orang Indonesia ketiga penerima penghargaan itu setelah Rudi Hartono dan Dick Sudirman. Atas penghargaan itu ia bersyukur pada Tuhan karena diberi berkat dan anugerah bisa bermain bulu tangkis. Itu adalah sebuah proses yang panjang, mulai dari menjadi atlet, pelatih, dan sekarang menjadi pengurus. Ia juga berterima kasih kepada PBSI yang sudah memberikan fasilitas kepadanya untuk menjadi atlet, pelatih, lalu menjadi pengurus. Semua itu merupakan tambahan motivasi yang mendorong dalam karirnya.

Meskipun telah mencapai prestasi tertinggi, baik sebagai pemain, pelatih, dan kini pengurus, Christian merasa belum belum sampai pada batas maksimal. Dari segi pribadi, ia merasa belum merasa "penuh" (fulfilled). Justru pada saat ini bulu tangkis dalam negeri cenderung dalam penurunan prestasi. Gambaran utuh prestasi itu bukan hanya supremasi di Piala Thomas. Piala Uber belum direbut, Piala Sudirman hanya sekali diraih yaitu di Jakarta tahun 1989. Masih ada gap antara pemain putra dan putri dengan kekuatan yang tidak merata. Ia sebagai bagian yang turut bertanggung jawab di pelatnas mengaku masih tidak puas atas pencapaian saat ini. Semuanya masih belum all out. Masih banyak lubang-lubang yang harus dibereskan.

Pribadi Christian dikenal sebagai sosok yang sederhana namun berkemauan keras dan tidak pernah puas. Itu yang membuatnya selalu memaksa diri selalu belajar. Belajar menjadi pelatih yang baik, belajar mengurus organisasi dengan benar, memikirkan konsep pembinaan bulu tangkis yang ideal, dan bahkan, belajar menghadapi wartawan dan menyampaikan pernyataan dengan lugas dan utuh sehingga tidak ada ruang bagi tumbuhnya spekulasi.

Proses belajar itu tidak selalu mulus. Terkadang, ia menemui benturan dan konflik dengan orang lain termasuk dengan pengurus dan pelatih di lingkungan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Bila sudah begitu, ayah dua anak, Mario (20) dan Mariska Hadinata (19) dan suami Yoke Anwar, ini memilih berintrospeksi dan berusaha memperbaiki diri lebih dulu.

Kesederhanaan itu ditunjukkannya dengan lebih mengutamakan pengabdian dan mencetak prestasi ketimbang mencari penghasilan yang lebih menjanjikan secara finansial. Hal itu yang membuatnya dari dulu sampai sekarang tidak tergiur dengan iming-iming melatih di luar negeri. Ia merasa inilah saatnya mengembalikan sesuatu bagi bulu tangkis, bagi organisasi PBSI. Karena, melalui bulu tangkis ia bisa mendapatkan banyak hal. Pengalaman pergi ke luar negeri, menjadi juara, mendapat penghargaan, dan lain-lain. Lalu ia berpikir, "apa yang bisa saya berikan dalam batas-batas kemampuan saya ini". Kalau berkiprah di luar negeri, ada rasa tidak nyaman di perasaannya. Ada yang mengatakan, kalau bekerja profesional tidak masalah mau bekerja di luar negeri atau di mana pun. Namun, menurut hematnya ada hal-hal lain di luar sekadar profesionalisme. Bisa saja bekerja hebat di Hongkong, di Malaysia, atau di mana pun. Namun semua itu adalah realitas semu baginya. Ketika Piala Thomas berhasil direbut, waktu Hendrawan menjadi juara dunia, perasaan itu sulit digambarkan. Kalau itu bukan bendera Merah Putih yang naik, lalu apa rasanya?

Meskipun tidak terlalu mengejar materi, namun tidak berarti hal itu tidak penting. Dengan jujur Christian mengaku materi itu penting juga buatnya. Namun, yang ia temukan di dunia bulutangkis itu lain. Ia mendapatkan penghargaan sosial dari masyarakat, dari lingkungan, yang semua itu susah diukur dengan materi. Ketika berjalan-jalan ada yang menyapa "O Pak Christian."

Penghargaan sosial itu ditemukan dalam sebuah pengalaman Christian yang cukup mengharukan. Ketika itu kejuaraan nasional di Banjarmasin tahun 2000. Ada seorang ayah dengan dua anaknya, kembar. Ditilik dari pakaiannya, mereka itu keluarga yang amat sederhana. Mereka lalu mendatanginya. Boleh foto? Ayahnya bertanya. Katanya, "Biar bisa jadi juara seperti Om Chris". Usia anaknya sekitar 7-8 tahun. Ia merasa sangat terharu. Ia juga sering mengalami hal-hal yang menyentuh seperti itu. Sekarang ini penghargaan di bulu tangkis sudah lumayan meskipun tidak bisa mengharapkan seperti di tenis profesional. Namun, sebagai profesi, harus lain (pendekatannya). Ia bisa saja membuka sekolah bulu tangkis dengan menarik bayaran. Dari segi tanggung jawab tidak berat karena murid-murid itu datang karena kemauan mereka sendiri. Hasilnya, bisa didapat secara lebih langsung. Tapi, secara moral ia belum bisa berbuat begitu.

Pilihannya berkarir di bulutangkis sempat membuatnya gamang, terutama apakah ia berani mengambil tanggung jawab penuh atau tidak. Sebab, risikonya sangat tinggi karena tradisi dunia bulutangkis Indonesia adalah prestasi. Tugas itu menjadi berat, karena siapa pun yang memegang bulutangkis harus bisa mencetak prestasi. Ia memang merasakan menjadi atlet yang beberapa kali meraih juara. Namun, apakah itu jaminan bisa mencetak pemain menjadi juara? Tuntutan seperti itu dianggap umum, hal biasa. Kalau pemainnya tidak bisa juara, artinya tidak bisa melatih. Namun ia berpikir bahwa dirinya harus mengembalikan sesuatu pada bulutangkis dan organisasi, tidak bisa kalau organisasi yang memberi, lalu ia lepas tangan. Ia tahu, tanggung jawabnya sangat berat.

Ketika pertama kali melatih, yang dilakukannya adalah mengumpulkan atlet-atlet yang akan dilatihnya. Pertama-tama ditanyakan apakah mereka bisa menerima dirinya, mau atau tidak didampinginya. Jawabannya harus jujur dan jangan karena ia sudah "punya nama", namun sebenarnya dalam hati mereka tidak setuju atau tidak cocok. Christian paham bahwa hal ini kelihatannya sepele, namun sebenarnya itu adalah inti masalah. Mau enggak bekerja sama, jadi sama-sama bertanggung jawab. Setelah itu ia menjabarkan program dan target yang akan dicapai. Anak asuhnya bebas mengemukakan kritik dan saran atas latihan yang dilakukan. Bersama-sama mendesain program. Mereka menjadi juara dan ia berkarier sebagai pelatih. Demikian juga soal menentukan pasangan di ganda didesain bersama-sama, lalu diadakan evaluasi bersama-sama pula. Dengan cara-cara itu, bisa dikatakan sedikit sekali ada masalah yang timbul.

Sekian lama malang melintang di sektor ganda, jelas memiliki resep tertentu yang dipraktikkan di lapangan. Christian menyebutkan, resep sukses bermain di ganda iatu adalah jangan sekali-kali merasa pintar sendiri, merasa lebih bagus dari pasangan. Diakuinya, bagaimana tidak gondok dan mangkel kalau pasangannya melakukan kesalahan melulu. Atau, ada semacam konflik kecil dengan pasangan karena sifat pribadi yang berbeda.

Ia juga senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan pasangannya. Ia pernah berpasangan dengan Liem Swie King dan juga dengan Icuk Sugiarto. King bertipe menyerang, sementara Icuk tipe bertahan. Dengan King, saya hanya memancing-mancing dengan bola-bola lemah sehingga lawan terpaksa mengangkat bola. King yang mengeksekusi. Ia selalu bertanya, pasangan mau main bagaimana? Jangan pasangan yang harus nurut pada saya. Kalau Icuk bertahan, ya, ia angkat-angkat saja bola biar dipukul lawan. Untuk itu, yang penting adalah bisa mengalah. Jangan sok pinter, karena nanti malah kalah. Jika kalah, maka dua-duanya kalah.

Sebagai pelatih, tak jarang Christian menghadapi pasangan yang bermasalah. Kepada mereka, ia mengambil kebijakan memanggil sendiri-sendiri dulu. Mencari letak persoalannya. Baru setelah itu mengajak bicara kedua pemain bersama-sama. Cara ini cukup ampuh meskipun tidak selalu berhasil. Ada pertimbangan dari sisi nonteknis, namun sisi teknis juga harus dipertimbangkan.

Sektor tunggal dan ganda putra Indonesia secara umum mengalami regenarasi yang lumayan mulus. Hal ini berbeda dengan sektor tunggal dan ganda putri. Problem sebaliknya terjadi dengan Cina di mana sektor putri lebih berkembang sementara ganda putra justru sedikit tertinggal. Negara-negara lain pun mengalami hal yang sama secara umum, yaitu tidak semua sektor mengalami regenerasi secara mulus. Dengan kondisi yang demikian, maka persaingan di dunia bulutangkis menjadi terbuka. Sebab, secara umum tidak ada yang menonjol sekali perkembangannya. Tugasnya sebagai Direktur Pelatnas PBSI adalah menyiapkan atlet yang siap bertanding dan kembali mengukir tradisi emas.

Sebagai orang yang bertanggung jawab mencetak pemain handal, Christian tentu perlu inspirasi mengenai figur yang sukses menelorkan para juara. Menurutnya, yang dianggap hebat adalah mereka yang bukan bekas juara, tapi bisa mencetak juara. Ini luar biasa. Seperti Angelo Dundee yang mampu melahirkan petinju legendaris Muhammad Ali sampai ke Mike Tyson. Kok bisa-bisanya, padahal karakter pemain bermacam-macam. Lalu, ia juga mengidolakan pemain sepak bola Franz Beckenbauer. Ketika dia bermain, Jerman juara dan ketika dia menjadi pelatih, Jerman juara lagi. Luar biasa.

Kritiknya ditujukan kepada banyak mantan pemain bulu tangkis nasional, meskipun dilakukan dengan maksud tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka, yang sudah tidak bermain lagi malah meninggalkan begitu saja. Yang paling tidak enak dirasakannya adalah mereka memberi komentar dari luar yang menyudutkan dia dan teman-temannya yang di PBSI. Padahal, mencetak juara itu tidak semudah kelihatannya dari luar. Di sisi lain, sebagian dari pelatih di pelatnas bukan pemain-pemain berprestasi. Lihat saja nama-nama Herry Iman Pierngadi (pelatih ganda putra), Agus Dwi Santoso (pelatih tunggal), dan Richard Mainaky (pelatih ganda campuran).

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Sumber:
= PBSI
= Kompas, pewawancara: Isworo Laksmi Yunas Santhani Azis

Rudy Hartono Kurniawan Kunci Sukses ‘Berdoa’

Penampilan yang memukau dan smash yang mematikan dalam olahraga bulutangkis, membawa ia menjadi juara All England delapan kali dan bersama-sama dengan tim Indonesia memenangkan Thomas Cup pada 1970, 1973, 1976, dan 1979. Atas prestasi itu, nama pria yang suka berdoa saat bertanding ini diabadikan dalam Guiness Book of World Records pada 1982.

Rudy Hartono Kurniawan yang lahir dengan nama Nio Hap Liang pada 18 Agustus 1949, adalah anak ketiga dari keluarga Zulkarnaen Kurniawan. Dua kakak Rudy, Freddy Harsono dan Diana Veronica juga pemain olahraga bulutangkis kendati baru pada tingkat daerah.

Saudaranya yang lebih muda adalah Jeanne Utami, Eliza Laksmi Dewi, Ferry Harianto, Tjosi Hartanto, dan Hauwtje Hariadi. Beberapa adiknya pun ada yang menjadi pemain di tingkat daerah. Keluarga besar ini tinggal di Jalan Kaliasin 49, sekarang Jalan Basuki Rachmat, kawasan bisnis di Surabaya. Tempat tinggal ini juga menjadi tempat usaha jahit-menjahit. Bisnis mereka yang lain termasuk pemrosesan susu dekat Wanokromo.

Seperti anak-anak lainnya, Rudy kecil juga tertarik mengikuti berbagai macam olahraga di sekolah, khususnya atletik. Saat masih SD, ia suka berenang. SMP, ia suka bermain bola voli dan SMA, ia menjadi pemain sepakbola yang baik. Meski demikian, bulutangkis menjadi minatnya yang paling besar.

Saat usia 9 tahun, Rudy sudah menunjukkan bakatnya pada olahraga ini. Namun ayahnya, Zulkarnaen Kurniawan, baru menyadari bakatnya ini saat Rudy berusia 11 tahun. Ayahnya adalah pemain bulutangkis yang ikut bertanding di masa mudanya.

Sang ayah, pertama kali bergabung di Persatuan Bulutangkis Oke yang ia dirikan pada 1951. Pada 1964 organisasi ini dibubarkan dan ia pindah ke Surya Naga Group. Di sini, sang ayah diminta melatih pemain-pemain muda. Dalam melatih, Zulkarnaen menerapkan empat standar: kecepatan, olah nafas, konsistensi, dan agresivitas. Oleh karena standar itulah, ia sering melatih para pemain agar mahir juga di bidang olahraga atletik khususnya lari jarak pendek dan jauh, melompat, dan sebagainya.

Saat di Oke, Rudy untuk pertama kali memulai program latihannya yang disusun sedemikan rupa. Sebelumnya Rudy lebih banyak berlatih dengan turun ke jalan. Ia berlatih di jalan-jalan beraspal yang seringkali masih kasar dan penuh kerikil, di depan kantor PLN di Surabaya, sebelumnya bernama Jalan Gemblongan.

Ia ceritakan pengalamannya ini dalam buku Rajawali Dengan Jurus Padi (1986). Saat itu, Rudi berlatih hanya hari Minggu dari pagi hingga pukul 10.00. Dengan penuh percaya diri, Rudy mulai mengikuti kompetisi di Surabaya, dari kampung ke kampung dalam penerangan petromaks.

Setelah pindah ke Persatuan Bulutangkis Oke yang dimiliki ayahnya, latihannya menjadi lebih sistematis. Ia dilatih di sebuah gudang dekat jalur kereta api di PJKA Karangmenjangan. Ia berlatih di sana hingga malam karena ada lampu. Lantainya cukup baik dan dekat dari situ berkumpul para penjual makanan. Bila ia lapar, ia bisa pergi ke sana untuk makan dan minum.

Tidak lama kemudian ia bergabung dengan Rajawali group yang telah banyak menghasilkan pemain bulutangkis internasional. Ia merasa bisa memberikan yang terbaik saat berlatih di Rawali. Namun, setelah mendapat masukan dari ayahnya, ia mengakui bahwa kemampuan teknis dan taktisnya baru dibangun lebih baik setelah bergabung dengan Pusat Pelatihan Nasional untuk Thomas Cup di akhir 1965. Sebelumnya, di usia 15 tahun, Rudy mulai mengukir nama pada saat menjuarai Kejuaraan Nasional Yunior.

Setelah bergabung dengan Pusat Pelatihan Nasional untuk Thomas Cup, kemampuannya meningkat pesat. Ia menjadi bagian dari tim Thomas Cup yang menang pada 1967. Setahun kemudian, di usia 18 tahun ia meraih juara yang pertama di Kejuaraan All England mengalahkan pemain Malaysia Tan Aik Huang dengan skor 15-12 dan 15-9. Ia kemudian menjadi juara di tahun-tahun berikutnya hingga 1974.

Namun, nampaknya kedigdayaannya tidak berlangsung lama. Pada 1975, ia kalah dari Svend Pri. Tetapi, gelar juara All England ia rebut kembali pada 1976. Bersama tim Indonesia, Rudy menjuarai Thomas Cup pada 1970, 1973 dan 1976. Setelah absen selama dua tahun, Rudy tampil kembali pada Kejuaraan Dunia Bulutangkis II di Jakarta, 1980. Semula dimaksudkan sebagai pendamping, ternyata secara mengagumkan Rudy keluar sebagai juara. Berhadapan dengan Liem Swie King di final, pada usia 31 tahun Rudy membuktikan dirinya sebagai maestro yang tangguh.

Stuart Wyatt, presiden dari Asosiasi Bulutangkis Belanda berkata, “Tidak diragukan lagi, Rudy Hartono adalah pemain tunggal terbesar di jamannya. Ia handal dalam segala aspek permainan, kemampuannya, taktiknya, dan semangatnya.” Juara tujuh kali berturut-turut dan yang ke delapan (1968-1976) menjadi bukti akan hal itu.

Rekornya ini merupakah hasil dari kemampuannya yang luar biasa di bidang kecepatan dan kekuatan dalam bermain. Gerakannya nyaris menguasai seluruh area lantai permainan. Ia tahu kapan harus bermain reli atau bermain cepat. Sekali ia melancarkan serangan, lawannya nyaris tidak berkutik. Namanya sudah menjadi jaminan untuk menjadi pemenang, sebab ia hampir tidak pernah kalah. Meski ia sudah mengundurkan diri, banyak orang masih percaya bahwa ia masih bisa menjadi pemenang. Mungkin inilah alasan mengapa orang menjulukinya ‘Wonderboy’.

Kunci Sukses ‘Berdoa’ Banyak orang ingin tahu kunci keberhasilannya. Rudi menjawab, “Berdoa.” Dengan berdoa, Rudy memperkuat pikiran dan iman. Berdoa tidak hanya sebelum bertanding, tetapi juga selama bertanding. Itu melibatkan kata-kata atau ekspresi yang akan membangkitkan percaya diri dalam hati dan pikiran.

Untuk setiap poin yang ia peroleh selama bertanding, ia ucapkan terima kasih kepada Tuhan, “Terima kasih Tuhan untuk poin ini.” Dia terus berkata seperti itu hingga skor terakhir dan pertandingan berakhir. Ia mengatakan kebiasaannya ini dalam biografinya yang diedit oleh Alois A. Nugroho. Ia percaya bahwa manusia berusaha namun Tuhan yang memutuskan.

“Saya melakukan itu dalam semua pertandingan besar khususnya All England. Bagi saya ini adalah kenyataan. Kita berusaha tetapi Tuhan yang memutuskan. Saya juga percaya bahwa kalau kita kalah memang sudah ditentukan demikian, dan kalau kita menang, itu juga adalah kehendak Tuhan. Kalah adalah hal yang alami, karena sebagai manusia kita semua pernah mengalami kekalahan. Pemahaman ini akan melepaskan stress selama bertanding, mengurangi ketakutan, dan kegusaran, “ kata Rudy menjelaskan.

Pada tahun 1968 saat pertama kali tampil di All England ia ingin mengikuti jejak Tan Joe Hok. Pada 1969, ia ingin menjadi orang Indonesia pertama yang memenangkan Kejuaraan All England dua kali. Sementara pada 1970, ia ingin memenangkannya untuk ketiga kali. Sebab jika ia tetap mempertahankan sikap ini, ia akan bisa mempertahankan piala yang diraihnya. “Jadi, dalam setiap pertandingan All England, seolah-olah sudah menjadi kewajiban bagi saya untuk terus memecah rekor terus-menerus,” kata pria yang meninggalkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga demi bulutangkis ini.

Musuh terbesarnya adalah Svend Pri dari Denmark yang mempunyai kemampuan memberi kejutan dan membuat bingung lawan. Sementara Rudy memiliki taktiknya sendiri dengan cara bermain cepat. “Itulah yang saya lakukan dalam bertanding. Untuk menghadapi lawan seperti Svend Pri, Anda tidak bisa memberikan dia kesempatan. Satu kesalahan kecil dan kita berikan dia kesempatan untuk mengolah permainannya, Anda bisa tamat!”

Meski punya ‘taktik’ sedemikian rupa, Rudy tidak bisa menghalangi Svend Pri menjadi juara All England pada 1975. Dalam pertandingan yang ketat dan menegangkan, Svend Pri mengalahkan Rudy dalam dua set langsung, 15-11 dan 17-14.

“Saya akui permainan Pri memang bagus. Ia sudah mempersiapkan diri dengan baik. Sepuluh tahun ia bertanding untuk memenangkan All England dan akhirnya ia berhasil, “ kata Rudi tentang kemenangan yang diraih Svend Pri. Svend Pri dikenal sebagai pemain temperamental yang mempunyai smash mematikan. Prinsipnya dalam bermain adalah memenangkan set pertama, kalah dalam set kedua dan menang dalam set ketiga.

Pada pertandingan Thomas Cup 1973 di Istora Senayan, Jakarta, Svend Pri kembali mengalahkan Rudy. Tahun itu, Indonesia mengalahkan Denmark 8-1 dan meraih juara. Ironisnya, Rudy menjadi pemain satu-satunya yang kalah melawan Denmark. Bagi Rudy, itu menjadi kekalahan yang paling menyakitkan sepanjang karir bulutangkisnya.

Ia kemudian menyadari bahwa semua keberhasilannya adalah hasil dari usaha berbagai pihak termasuk para ahli pijat yang bergabung dalam tim Indonesia. Biasanya, otot lebih mudah ‘menyerah’ dalam udara dingin. Sedikit lelah akan membuat asam laktat berkumpul di sejumlah bagian dalam tubuh. Untuk memperlancarnya dalam sistem peredaran darah, pijat otot menjadi penting. Soetrisno, yang memijat Rudy dalam berbagai pertandingan menyatakan bahwa setelah bertanding para pemain harus dipijat. “Biasanya, Rudy akan tidur di malam hari setelah saya memijatnya,” Soetrisno mengakui.

Terlepas dari faktor teknis yang mempengaruhi setiap pertandingan, terkadang muncul faktor non teknis. Rudy kadang kurang siap. Itu terjadi saat ia harus memberikan pidato dalam bahasa Inggris sebagai juara All England. Untunglah, ia ‘diselamatkan’ oleh Ferry Sonnevillewho yang sudah mempersiapkan teksnya.

Rudy juga bisa gelisah bila ia harus menghadiri undangan makan malam. “Setiap kali saya harus menghadiri makan malam, saya akan ketakutan melihat berbagai jenis sendok di atas meja. Di situ ada sendok makan, sendok sup, sendok teh, pisau, dan garpu. Mengapa banyak sendok? Itu (ketakutan dalam undangan makan malam -red) hanya semakin mempersulit saya menjadi juara,” kata Rudy.

Masalah non teknis juga muncul saat ia tampil dalam film Matinya Seorang Bidadari (1971) bersama Poppy Dharsono arahan sutradara Wahyu Sihombing. Sebuah adegan dalam film itu menimbulkan kehebohan. “Saya menyesal tidak memberi waktu pada diri saya untuk berpikir tentang itu, walaupun awalnya saya berpikir itu bisa menjadi suatu perubahan (terlibat dalam film),“ kata pecinta film ini.

Sebagai pendekar bulu tangkis, ia juga berambisi menaklukkan jago-jago Cina yang tidak pemah dihadapinya sewaktu Rudy masih jaya. Keinginannya bertarung itu terpenuhi dalam perebutan Piala Thomas 1982, ketika usianya telah menua. “Ketemu sekali saja saya kalah," ujarnya tertawa.

Kiprahnya di arena bulutangkis semakin meredup setelah ia kalah dari pemain India, Prakash Padukone, dalam semifinal All England pada 1989. “Saya menyadari, saya mulai kewalahan bermain,” ujarnya. Meskipun demikian, dengan namanya yang terabadikan di Guiness Book of World Records pada 1982, ia tetap terlibat dalam olahraga yang ia tekuni semenjak kecil ini, di pinggir lapangan. Olahragawan terbaik SIWO/PWI (1969 dan 1974) ini menjadi Ketua Bidang Pembinaan PB PBSI dalam kurun waktu 1981-1985 di bawah kepengurusan Ferry Sonneville.

Sejak itu, ia memusatkan perhatian pada pembinaan pemain-pemain yang lebih muda, yang diharapkan dapat menggantikannya. Dari klub yang dipimpinnya, misalnya, lahir Eddy Kurniawan yang, kendati belum berprestasi secara stabil, mampu membunuh raksasa bulu tangkis Cina seperti Zao Jianghua atau Yang Yang. Pemain-pemain belasan tahun seperti Hargiono, Hermawan Susanto. atau Alan Budi Kusuma, juga banyak menerima sentuhan Rudy, untuk bisa tampil dalam kancah pertarungan dunia kelak.

Sewaktu masih menjadi pemain, hadiah uang, tanah, rumah, dan mobil, mengalir untuknya. Beberapa di antaranya berupa tanah dari DKI, sebuah rumah di Kebayoran, Tabanas Rp 5 juta dari Presiden Soeharto, dan mobil Toyota Corrola dari PT Astra, yang presdimya, William Soerjadjaja, masih paman Jane Anwar.

Dengan materi yang dimilikinya, ditunjang oleh hubungan yang luas dengan banyak pengusaha, dan hasil kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta, Rudy mengembangkan bisnis. Peternakan sapi perah di daerah Sukabumi adalah awal mulanya ia bergerak dalam bisnis susu. la juga bergerak dalam bisnis alat olahraga dengan mengageni merk Mikasa, Ascot, juga Yonex. Kemudian melalui Havilah Citra Footwear yang didirikan pada 1996, ia mengimpor berbagai macam pakaian olahraga.

Berkat nama besarnya di dunia bulutangkis, United Nations Development Programme (UNDP) menunjuk Rudy sebagai duta bangsa untuk Indonesia. UNDP adalah organisasi PBB yang berperang melawan kemiskinan dan berjuang meningkatkan standar hidup, dan mendukung para perempuan. Di mata UNDP, Rudy menjadi sosok terbaik sebagai duta kemanusiaan. Kiprahnya di dunia olahraga dan kerja kerasnya menjadi juara dunia menjadi teladan bagi generasi yang lebih muda. “Ia menjadi teladan,” kata Ravi Rajan, Resident Representative of UNDP in Indonesia (Gatra 8 November 1997).

Kini, Rudy tidak lagi mengayunkan raketnya di udara. Faktor usia dan kesehatan membuat ia tidak bisa melakukannya. Sebab sejak ia menjalani operasi jantung di Australia pada 1988, ia hanya bisa berolahraga dengan berjalan kaki di seputar kediamannya. Walaupun demikian, dedikasinya pada bulutangkis tidak pernah mati. ► e-ti/mlp 

Hendrawan ^Berprestasi untuk Bangsa^

Berprestasi dan menjunjung tinggi nama bangsa dan negara, tetapi tetap sulit menjadi WNI. Sampai akhirnya dia mengeluh soal itu, sehingga Presiden Megawati turun tangan, barulah nasib kewarganegaraannya diperoleh.

Berita-berita olahraga kerap tenggelam oleh riuh rendahnya pertikaian politik dan krisis ekonomi. Untunglah di tengah kegalauan menghadapi berbagai persoalan muncul sosok Hendrawan dan Tim Piala Thomas Indonesia. Mereka memboyong Piala Thomas untuk ke-13 kalinya ke Indonesia. Sekaligus mengukir rekor lima kali berturut-turut merebut piala grup bulutangkis bergengsi itu. Satu tahun lalu, Juni 2001, saat Indonesia cukup lama paceklik prestasi dunia di cabang olahraga bulu tangkis, pria kelahiran Malang, Jawa Timur, ini juga membawa kabar gembira dengan memenangi juara tunggal putra dalam ajang Piala Sudirman, di Sevilla, Spanyol. Hendrawan mengalahkan pemain nomor satu dunia, Peter Gade Christensen dari Denmark. Sangat wajar bila saat itu prestasi Hendrawan ini membuat banyak pihak bersyukur dan bangga. Sebab prestasi itu pastilah mengharumkan nama bangsa dan negera. Tapi, prestasi ini tidak membuat Hendrawan besar kepala. Dia atlet yang rendah hati. Yang paling membuat kita sebagai bangsa pantas malu, ternyata masalah status kewarganegaraan Hendrawan masih belum jelas. Padahal, dia lahir di Indonesia, bahkan ayahnya juga lahir di Indonesia. Namun, masalah kewarganegaraan ini tidak membuat Hendrawan patah hati. Dia bahkan makin giat berlatih untuk bisa meraih prestasi demi kebesaran bangsa dan negara Indonesia. Cermin buat Kita Hendrawan, sekali lagi membuktikan bahwa dia tulus dalam tekad memberikan sesuatu demi kebanggaan bangsa dan negaranya, Indonesia! Para pemirsa Indonesia, ketika menyaksikan siaran langsung final Piala Thomas melalui Trans TV, hari Minggu (19/5/2002), pasti merasa bangga melihat penampilan Hendrawan yang menentukan kemenangan Indonesia. Ketika itu, khalayak Indonesia sudah sport jantung. Posisi 1-2 untuk keunggulan tim Malaysia. Dua poin terakhir adalah partai keempat ganda kedua dan partai kelima yang mempertandingkan tunggal ketiga. Untunglah peluang kemenangan itu kemudian dibuka oleh pasangan "gado-gado" Halim Haryanto yang murni pemain ganda putra dengan Trikus Harjanto yang spesialis ganda campuran. Posisi menjadi 2-2. Situasi benar-benar genting. Partai terakhir akan menghadapkan Hendrawan (30) dengan Roslin Hashim. Keduanya pemain reli. Roslin dikenal up and down permainannya, sementara Hendrawan dikenal agak "enggan" dengan sistem skor 5x7-yang diartikan oleh banyak pemain sebagai permainan yang "menyerang"-sama sekali bukan "tipe Hendrawan". Set pertama partai penentu itu benar-benar menggedor jantung. Karena Hendrawan yang unggul 4-1 akhirnya malah tertinggal 4-6. Begitu menyaksikan permainan Hendrawan di set kedua, dan melihat permainan Roslin, pencinta bulu tangkis melihat seorang Hendrawan yang bertanding bak macan luka. Permainannya taktis, cerdas, dan menyengat. Ibaratnya, "Siapa pun akan kalah kalau Hendrawan bermain seperti itu." Seperti diungkapkan beberapa pelaku bulu tangkis sambil berdecak kagum. Belum lagi keringatnya kering, Hendrawan seakan terlahir kembali menjadi "pahlawan", istilah yang buru-buru ditolaknya. "Saya bukan hero, I'm not a hero. Jangan lupa ini even beregu dan kemenangan bukan ditentukan saya seorang," tuturnya saat diwawancara secara langsung oleh jaringan China Central Television. "Saya berada di sini berkat suport dan dukungan rekan-rekan saya yang lain dan para pengurus, Ketua PB PBSI," ujarnya sambil tersenyum. Bapak satu anak, Josephine Sevilla, dari istrinya Sylvia Anggraini ini, tampil cool meskipun sebelum berangkat dia mendapat masalah dalam pengurusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI)-nya. Karena dia adalah warga keturunan Tionghoa. Masalah ini terselesaikan setelah Presiden Megawati Soekarnoputri membacanya di media massa. "Persoalan ini tidak akan mengganggu penampilan saya nanti di Guangzhou," janjinya saat itu. Jika diurut kronologis perkembangan prestasi Hendrawan, harus diakui dia telah berkata sejujurnya. Dia tidak mengklaim sukses itu sebagai miliknya sendiri, karena, putaran final Piala Thomas tahun ini sangat berbeda dengan empat tahun lalu ketika dia membuka peluang kemenangan tim Indonesia di Hongkong dengan merebut poin kedua bagi Indonesia-mengalahkan Yong Hock Kin dari Malaysia. Prestasi Indonesia saat itu membawa kembali kehormatan bangsa ini-yang terkoyak akibat kerusuhan Mei yang membawa banyak korban terutama kaum keturunan Cina. (Komentar Indra Gunawan, pelatihnya ketika itu, "Terima kasih Hendrawan telah memecahkan teka-teki dari mana satu angka dari tunggal itu dihasilkan"-karena dua ganda Indonesia ketika itu adalah ganda-ganda terkuat dunia). Juga berbeda dengan dua tahun lalu ketika dia menjadi ujung tombak tim. Tahun ini pertandingan dilakukan dengan sistem skor 5x7 yang "menjadi momok" bagi Hendrawan. Bahkan, dia meminta tambahan waktu untuk mempertimbangkan apakah akan ikut turun di Piala Thomas atau tidak. Dia merasa tidak yakin dengan kemampuannya bermain dengan sistem baru itu. Apalagi, dia gagal berangkat ke Korea Terbuka, yang semula akan dijadikan ajang mengukur diri bagi Hendrawan, apakah dia "mampu" menyesuaikan diri dengan sistem baru tersebut atau tidak. Yang pasti, Hendrawan membekali dirinya dengan tekad bulat, dengan kesiapan untuk mengubah diri, mengubah style, mengubah sistem latihannya, untuk lahir sebagai "Hendrawan baru"-yang lebih attacking. Pada dasarnya, Hendrawan adalah pemain yang "berbahaya" dan "ditakuti" lawan-lawannya. Tahun 1996, ketika Hendrawan masih "bukan siapa-siapa", juara All England 1995, Poul-Erik Hoyer Larsen-yang kemudian menjadi juara Olimpiade 1996-menyatakan, "Saya mendapat drawing sulit karena ada Hendrawan". Hendrawan? Siapa dia? "Dia pemain berbahaya, dia pemain bagus. Saya pernah kalah di Rusia Terbuka 1994. Dia bisa menjadi pemain besar suatu kali nanti. Dia berbahaya," ujar Hoyer-Larsen. Keberhasilan Hendrawan mencapai kualitas permainan seperti sekarang merupakan hasil kerja keras bertahun-tahun karena dia menyadari dirinya tidak terlalu berbakat. "Dia mengakui bukan seperti Hariyanto Arbi atau Taufik Hidayat yang punya pukulan yang luar biasa," tutur Indrawati Sugianto, kakak kandung Hendrawan. Kepada Indrawati, Hendrawan sering mengadu bahwa dirinya harus bisa menguras otak, mental, dan fisiknya untuk mengatasi segala kekurangan yang dimiliki. Sejak mulai bermain bulu tangkis di usia 10 tahun, disiplin menjadi modal Hendrawan untuk bertahan di bulu tangkis. Pulang sekolah, Hendrawan tidak langsung ke rumah tetapi berlatih lari mengelilingi stadion Malang. Hendrawan juga bukan manusia setengah dewa yang sempurna. Saat dikirim ke klub Jarum Kudus karena ayahnya, Sugianto sadar anaknya tidak akan bisa berkembang di Malang, Hendrawan malah jadi seperti kuda lepas dari kekang kendali. Tidak jarang Sugianto memperoleh laporan tentang kenakalan Hendrawan. Misalnya, pada saat tidur siang, dia lebih suka main layang-layang di atas atap asrama. "Tidak heran prestasinya melorot. Prestasinya jadi tidak ada yang menonjol," tambah Indrawati. Keprihatinan Sugianto atas kemerosotan prestasi Hendrawan, terutama ketahanan fisiknya membuat wiraswastawan itu menyempatkan diri terus mengontrol anaknya. Setiap Sabtu sore, dia pergi ke Kudus menumpang bus malam agar bertemu Hendrawan pagi harinya di Stadion Kudus. Di sana Sugianto mendampingi Hendrawan untuk menambah latihan fisik. Usai latihan, Sugianto kembali ke Malang dengan menumpang bus. "Kenangan atas Papa yang membuat Wawan (nama panggilan Hendrawan-Red) tidak tega mengundurkan diri dari bulu tangkis saat masa-masa sulit di pelatnas di mana dia tak kunjung berhasil meningkatkan prestasi di arena internasional," kenang Indrawati. *** Kisah sukses ini seperti kata Hendrawan, bukan miliknya seorang. Kerja keras juga bukan hanya miliknya. Ironisnya, kerja keras pemain bulu tangkis yang hari Minggu (19/5) lalu itu berhasil mencetak rekor dengan lima kali berturut-turut dan membawa Sang Saka Merah Putih berkibar di Tianhe Gymnasium itu tidak diimbangi dengan sebuah pengakuan bahwa dia adalah seorang warga negara Indonesia, karena dia keturunan Tionghoa. Sebuah "ketidakadilan" negara terhadap warganya terjadi dengan korban Hendrawan dan harus diselesaikan langsung melalui tangan Presiden. Sebelumnya, hanya dari bulu tangkis saja ada sederetan nama seperti Tan Joe Hock, Ivana Lie, Tong Sin Fu-pelatih yang berjasa melahirkan ganda-ganda putri dan pemain tunggal putra, dan pemain-pemain generasi muda sekarang seperti Halim, Candra, dan yang lain. Lagi-lagi karena mereka keturunan Tionghoa. Padahal, generasi orang tua mereka telah lahir di Indonesia. Apa yang ditawarkan oleh negara ini kepada mereka-mereka yang telah "berjasa"? Melihat pada kasus Hendrawan, ternyata: nyaris tidak ada. Belum lagi jika kita bicara tentang mereka-mereka yang lain, keturunan Tionghoa lainnya yang dikatakan "tidak berjasa"-mereka yang "orang-orang biasa". Hendrawan, penentu kemenangan yang sederhana itu menjadi cermin betapa "tidak pastinya hukum di negeri ini". (Tokoh Indonesia, dari Kompas dan berbagai sumber) 

Liem Swie King ^ Pahlawan Bulutangkis Indonesia^

Liem Swie King, pahlawan bulutangkis Indonesia, lahir di Kudus, Jawa Tengah, 28 Februari 1956. Dia legendaris bulutangkis Indonesia setelah Rudy Hartono. Dia telah puluhan kali mengharumkan nama Indonesia di pentas olahraga (bulutangkis) dunia. Ia terkenal dengan pukulan jumping smash, yang dijuluki sebagai King Smash.
Sejak kecil Swie King sudah bermain bulu tangkis atas dorongan orangtuanya di Kudus, kota kelahirannya. Kepiawaiannya bermain bulutangkis makin terasah ketika ia  masuk ke dalam klub PB Djarum yang telah banyak melahirkan para pemain nasional.

Dalam catatan Pusat Data Tokoh Indonesia, Liem Swie King meraih berbagai prestasi selama 15 tahun berkiprah di bulutangkis. Pertama kali, Swie King meraih Juara I Yunior se-Jawa Tengah (1972). Pada usia 17 tahun (1973), ia menjuarai (II) Pekan Olahraga Nasional. Setelah itu, Liem Swie King direkrut masuk pelatnas yang bermarkas di Hall C Senayan. Ia pun meraih Juara Kejurnas 1974 dan 1975.

Kemudian berkiprah di kejuaraan internasional, meraih Juara II All England (1976 & 1977). Kemudian tiga kali menjadi juara All England (1978, 1979, 1981), kejuaraan paling bergengsi kala itu. Selain itu, puluhan medali grand prix lainya, medali emas Asian Games di Bangkok 1978, dan tiga medali emas Piala Thomas (1976, 1979, 1984) dari enam kali membela tim Piala Thomas. Ketika menantang Sang Legendaris Rudy Hartono di final All England tahun 1976, usianya masih 20 tahun. Setelah itu, Liem Swie King menjadi penerus kejayaan Rudy.
Demi Masa Depan
Demi menjamin masa depan, ia pun mengundurkan diri sebagai pemain nasional bulutangkis tahun 1988. Kendati ia tidak langsung bisa menemukan kegiaatan usaha untuk mencapai cita-citanya. Setahun setelah berhenti itu, King nyaris dapat dikatakan menganggur. Sebab keahlian dan pengetahuan yang dia miliki hanyalah olahraga bulu tangkis.

Kemudian ia mulai ikut mengelola sebuah hotel di Jalan Melawai Jakarta Selatan milik mertuanya. Setelah itu, ia melebarkan sayap dengan membuka usaha griya pijat kesehatan. Kini usahanya telah mempekerjakan lebih dari 400 karyawan. Berkantornya di Kompleks Perkantoran Grand Wijaya Centre Jakarta Selatan.

Bagaimana King bisa tertarik pada bisnis perhotelan dan pijat kesehatan? Rupanya sebagai pemain bulu tangkis yang sering menginap di hotel berbintang, King tertarik dengan keindahan penataan hotel dan keramahan para pekerjanya. Begitu pula soal griya pijat. Saat menjadi atlet, King selalu membutuhkan terapi pijat setelah lelah berlatih dan bertanding. Kala itu, ia kerap mengunjungi griya pijat kesehatan di kawasan Mayestik Jakarta Selatan yang penataan ruangannya begitu bagus.

Ia pun berpikir bahwa usaha pijat kesehatan (spa) ini sangat prospektif. Kalangan eksekutif dan pengusaha Jakarta yang gila kerja butuh kesegaran fisik dan relaksasi. Maka dia membuka usaha griya pijat kesehatan Sari Mustika. Kini, dia telah membukanya di tiga lokasi, Grand Wijaya Centre, Jalan Fatmawati Jakarta Selatan, dan Kelapa Gading Jakarta Utara dengan total karyawan sekitar 200 orang. Dalam mengelola usahanya, ia pun tidak sungkan-sungkan menyambut sendiri tamu hotel atau griya pijatnya.

Hasilnya, selain usahawan dan eksekutif lokal, serta keluarga-keluarga menengah atas Jakarta, banyak ekspatriat menjadi pelanggan griyanya. Ia pun merasa bahagia karena bisa membuktikan griya pijat tidak selalu berkonotasi jelek seperti yang dibayangkan kebanyakan orang.
Menurut informasi dari kerabat dekatnya, Liem Swie King sebenarnya dari marga Oei bukan marga Liem. Pergantian marga seperti ini pada masa dahulu zaman Hindia Belanda biasa terjadi, pada masa itu seorang anak dibawah usia ketika memasuki wilayah Hindia Belanda (Indonesia sekarang) harus ada orang tua yg menyertainya, bila anak itu tidak beserta orang tua aslinya, maka oleh orang tuanya akan dititipkan kepada "orang tua" yg lain, "orang tua" ini bisa saja bermarga sama atau lain dari aslinya.

Pebulutangkis yang pernah terjun ke dunia film sebagai bintang film Sakura dalam Pelukan, ini kini hidup bahagia bersama isteri dan tiga orang anaknya Alexander King, Stevani King dan Michele King. Ternyata, anak-anaknya tidak tahu bahwa King seorang pahlawan bulutangkis Indonesia.

Belakangan, Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale, pemilik rumah produksi Alenia, mernjadikan kehebatan Liem Swie King dalam dunia bulutangkis Indonesia sebagai inspirasi untuk membuat film tentang bulutangkis. Film itu memang bukan bercerita tentang kisah kehidupan King. Akan tetapi, dalam film itu, King menjadi inspirasi bagi seorang ayah yang kagum pada King, lalu memotivasi putranya untuk bisa menjadi juara seperti King. ►Tian Son Lang
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Refrensi:
- Kompas, PDAT, Wikipedia

Tan Joe Hok Bahagia, Jadi Kebanggaan Bangsa

Dia punya nama besar sebagai atlet kebanggan negeri ini pada masanya. Dia bahagia dapat mengharumkan nama bangsa. Tan Joe Hok, kelahiran Bandung, 11 Agustus 1937 putra pertama Indonesia yang menjuarai All England (1959) dan meraih medali emas Asian Games (1962). Selain itu, bersama enam pebulu tangkis Indonesia lainnya, merebut Piala Thomas pertama kalinya (1958) dan mempertahankan tahun berikutnya.

Dia seorang pahlawan bulutangkis Indonesia. Bayangkan dia berkorban meninggalkan bangku sekolah demi mengharumkan nama bangsa melalui bulu tangkis. Tan memulai main bulutangkis di jalanan. Ayahnya seorang pedagang yang pemain sepakbola, kemudian melihat bakatnya dan memberi dukungan. Darah pebulu tangkis mengalir dari ibunya, yang juga pebulu tangkis.

Setelah mendapat dukungan dari kedua orangtuanya, prestasi Joe menaik cepat. Pada usia 12, dia berlatih di lapangan yang dibangun ayahnya, di depan rumah mereka. Kemudian, pelatih klub Blue White, Lie Tjuk Kong, mengajaknya bergabung. Dia pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan berlatih saban hari. Ia selalu bangun pukul 5 pagi, untuk berlari dua jam.

Suatu ketika, anak kedua dari enam bersaudara ini menyaksikan pertandingan tinju di Bandung. Dia sangat terkesan dengan gerak kaki petinju itu. Lalu, dia pun meniru, dengan latihan skipping.

Dalam usia 17, tahun 1954, mulai menunjukkan kehebatannya pada kejuaraan nasional di Surabaya. Dia menundukkan Njo Kiem Bie, pebulu tangkis yang sedang tenar dan terkenal dengan smash-nya yang mematikan saat itu. Dua tahun berikutnya (1956), ia mengalahkan pemain terkenal Eddy Jusuf.

Setelah itu, dia menunjukkan kehebatannya kepada dunia. Dengan mengandalkan stamina dan kecepatan, ia mengalahkan jagoan Denmark Finn Kobbero dan Erland Kops. Lalu bersama enam pebulu tangkis Indonesia lainnya, di antaranya Ferry Sonneville, mereka merebut Piala Thomas.

Pada usia 22 tahun, nama Indonesia dan namanya diulas lumayan panjang di majalah Sports Illustrated, sebuah majalah olahraga bergengsi di Amerika, ketika itu. di All England, Kanada dan AS Terbuka diulas panjang lebar.

Dia pun menjadi kebanggan banyak orang di Indonesia, mulai dari rakyat kecil, tukang becak, sopir, pedagang, mahasiswa, pejabat hingga Saat itu ia merasa menjadi orang yang paling bahagia atas keberhasilannya. Bagaimana Presiden Soekarno ketika itu.

Dia pun berkesempatan ketemu dengan Bung Karno. Saat itu, Bung Karno bilang: "Indonesia punya banyak dokter dan insinyur, tapi hanya sedikit yang seperti kamu. Saya akan dukung kamu."

Pada saat itu, Tan Joe Hok sambil kuliah dan menjadi asisten dosen bidang kimia di Universitas Baylor, Texas, Amerika Serikat. Tapi, dia secara khusus dipanggil pulang ke Indonesia untuk bertarung di arena bulu tangkis di Asian Games 1962 yang berlangsung di Jakarta.

Dia pun meraih medali emas. Saat dia mau kembali melanjutkan kuliahnya ke AS, Bung Karno memberinya selembar cek bernilai US$1.000. Tapi dia bukan mata duitan dan karena merasa punya bekal cukup, ia dengan rendah hati mengembalikan cek itu. Baginya, menjadi putra Indonesia yang dibanggakan lebih berharga dari sejumlah uang.

Sepulang belajar di AS, dia bergabung dengan regu Piala Thomas Indonesia di Tokyo. Dia menjadi bintang dengan mengalahkan Erland Kops dan  K.A. Nielsen. Indonesia menang 5x4, Indonesia dan berhasil mempertahankan Piala Thomas, 1964.
Tahun berikutnya, dia menikah dengan Goei Kiok Nio (1965), dan dikaruniai dua anak. setelah itu, pemegang sabuk kuning yudo, ini sempat melatih bulu tangkis di Mexico (1969-1970) dan di Hong Kong (1971).

Lalu tahun 1972, kembali ke Indonesia. Dia pun mendirikan usaha di bidang pest control. Tapi aliran darahnya tidak bisa lepas dari bulu tangkis. Dia tak kuasa menolak manakala ditawari menjadi pelatih Pelatnas Piala Thomas 1984.

Sebagai pelatih, di bawah bimbingannya regu bulu tangkis Indonesia berhasil menundukkan Cina dalam final perebutan Piala Thomas di Kuala Lumpur, 18 Mei 1984. Lalu, SIWO/PWI Jaya menganugerahkan penghargaan sebagai Pelatih Olah Raga Terbaik (1984).

Sebagai pelatih, dia bergabung dengan PB Djarum sejak 1982. Kemudian merangkap sebagai project manager cabang PB Djarum di Jakarta. Dia melahirkan beberapa pemain nasional. ► TokohIndonesia.com/crs
 ***

Tan Joe Hok Mengembalikan Hadiah Uang

Sepertinya sudah menjadi kelaziman saat ini, jika atlet berprestasi, hadiah uang pun mengalir. Tetapi pernahkan ada atlet menolak pemberian uang?

Tan Joe Hok rupanya pernah melakukannya. Dan tidak tanggung-tanggung: mengembalikan uang pemberian Bung Karno, sebanyak 1.000 dollar AS.

”Saya kan sudah mendapat beasiswa dari Baylor University (Texas). Kenapa saya mesti menerima uang lagi? Kasihan, masih banyak mereka yang membutuhkannya. Uang saku, saya pun sudah bisa mendapatkannya sendiri dengan bekerja di kampus,” tutur Tan Joe Hok, ketika ditemui di rumahnya di Pancoran, Tebet, Kamis (4/12) lalu.

Ketika itu, menurut Tan Joe Hok, jumlah 1.000 dollar AS besar sekali untuk ukuran masa itu. Sebagai mahasiswa perantauan (Tan Joe Hok mendapat beasiswa studi sampai selesai S-1 di Baylor University, jurusan premedical dengan major kimia dan biologi sejak 1959-1963), tentu, ia bukan tak butuh uang.

”Saya kembalikan uang itu melalui Prof Dr Prijono, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ke alamat pengirimnya,” tutur Tan Joe Hok. Gile. Kan pengirimnya Bung Karno?

Kisah hadiah uang itu bermula dari keberhasilan Tan Joe Hok, yang bersama Ferry Sonneville, pulang kembali dari negeri seberang guna mempertahankan Piala Thomas di Jakarta (1961), setelah untuk pertama kalinya mereka dan timnya merebut lambang supremasi beregu bulu tangkis itu pada tahun 1958.

”Saya cari-cari nomor telepon Ferry di Amsterdam (Belanda), dan berhasil saya hubungi pagi-pagi pukul 01.30. Saya bilang kepada Ferry, ayo Fer kita pulang untuk mempertahankan Piala Thomas,” tutur Tan Joe Hok. Ferry yang tengah studi ekonomi di Amsterdam setuju pulang. Dan dengan biaya serta kesadaran sendiri, Tan Joe Hok pun kembali ke Jakarta. Sementara Ferry berhasil ”didatangkan” dari Belanda dengan dana yang digalang oleh pembaca-pembaca koran Star Weekly.

Begitu pertandingan usai dan Indonesia berhasil mempertahankan Piala Thomas, Tan Joe Hok segera kembali ke AS untuk menyelesaikan studinya.

”Yang saya hargai bukan pemberian uangnya, akan tetapi falsafah di baliknya. Sebagai pemimpin tertinggi, Bung Karno sangat menghargai rakyatnya,” tutur Tan Joe Hok. Ia bahkan ingat benar kata-kata Bung Karno ketika Indonesia berhasil mempertahankan Piala Thomas 1961.

”Kamu mewakili bangsa dan negaramu. Banyak doktor, insinyur...., tetapi orang yang seperti kamu itu hanya bisa dihitung dengan jari. Saya bangga,” kata Tan, menirukan sang pemimpin besar revolusi itu. Sambil menunjuk-nunjuk, Bung Karno itu berkata, ”I’ll give you scholarship.”

Dan ternyata, begitu tiba di kampus di Texas, sudah ada sepucuk amplop yang menerangkan bahwa Tan Joe Hok mendapat kiriman uang sejumlah 1.000 dollar AS dari seseorang di Indonesia....

*** Selalu punya cita-cita, punya tujuan. Sikap hidup inilah yang membuat Tan Joe Hok—satu-satunya pebulu tangkis anggota tim Piala Thomas 1958 yang masih tersisa—meraih sukses demi sukses dalam hidupnya. Bahkan, dalam usia senja sekalipun, ia masih punya cita-cita.

Kita hidup, menurut Tan Joe Hok (71), memang selalu harus punya attainable goal, tujuan yang bisa kita capai. Kalau tidak punya cita-cita, itu sama halnya dengan kapal yang tanpa tujuan di tengah lautan, lalu limbung diombang-ambingkan ombak.

Ketika ia masih kecil, misalnya. Mungkin sekitar umur 12 tahun. Si kecil Tan Joe Hok di Kampung Pasir Kaliki, Bandung, juga punya cita-cita sederhana, ”ingin hidup berkecukupan, bisa makan”.

Maklumlah. Masa itu, setelah perang kemerdekaan, sungguh sebuah masa yang sangat sulit. Bisa makan pun masih untung.

”Saya bawa keinginan itu dalam doa, ’Ya Tuhan, bawalah saya kepada apa yang saya impikan, apa yang saya tuju...’,” tutur Tan Joe Hok.

Si kecil Tan lalu merintis tujuannya itu melalui bulu tangkis. Berlatih di lapangan yang dibangun ayahnya, di depan rumah mereka. Dan, ikut bergabung di klub Blue White, Bandung, ketika ia ditawari Lie Tjuk Kong. Siapa tahu bisa berkecukupan dari bulu tangkis....

Tentu bukan tanpa upaya untuk meraih cita-citanya. Ia biasa berlatih keras dari pagi-pagi buta (sampai sekarang pun Tan Joe Hok terbiasa bangun pukul 04.15 dan senam di gym pribadinya untuk tetap menjaga kebugarannya di usia senja, di rumahnya di kawasan Jalan Mandala, Pancoran, Tebet, Jakarta).

Pintu menuju tujuan sederhananya mulai terkuak lima tahun kemudian di Surabaya tahun 1954.

”Saya mengalahkan Njoo Kiem Bie dan tampil sebagai juara nasional pada usia 17 tahun,” katanya. Setelah sukses pertamanya itu, pintu-pintu cita-cita seperti mulai terbuka.

”Saya mulai diundang ke kanan, ke kiri, dan saya pun diundang ke India bersama (pasangan juara All England) Ismail bin Mardjan dan Ong Poh Lin,” tutur Tan.

Mulailah Tan pergi keliling India—ke Bombay, New Delhi, Calcutta, Ghorapur, Jabalpur, dan kota lainnya di India. Keliling lebih dari setengah bulan, pulangnya mampir di Bangkok dan Singapura (Malaya, waktu itu).

”Ismail tidak hanya menjadi kawan seperjalanan saya, tetapi juga sahabat saya,” ungkap Tan Joe Hok, tentang pemain Melayu itu. Dari mulut Ismail pula terembus cita-cita kedua Tan Joe Hok yang mulai ”bisa hidup berkecukupan”.

”Ismail bin Mardjan bilang kepada saya, ini saya tak akan lupakan, ’Eh, Joe Hok, kamu akan menjadi yang terbaik di dunia. Asalkan kamu latihan keras seperti sekarang. Tetapi jangan hidupnya kayak saya ini...’,” tutur Ismail bin Mardjan.

Ketika mampir di rumah Ismail di Malaya, barulah mengerti apa arti kata Ismail ”jangan hidupnya kayak saya”.

”Jangan bayangkan Singapura seperti sekarang ini. Rumah Ismail ada di kampung, kotor, dan sungainya hitam, berbau,” tutur Tan. Sore hari, pukul 18.00, Ismail selalu pamit kepada Tan Joe Hok. Ternyata, guna menyambung hidupnya, sang juara All England itu harus bekerja jadi petugas satpam, dari pukul 6 petang sampai pukul 6 pagi.

”Doa” Ismail kepada Tan Joe Hok itu rupanya terwujud. ”Saya kerja keras dan rupanya doa itu dikabulkan. Saya diundang ke (kejuaraan bulu tangkis paling bergengsi—sebuah kejuaraan dunia tak resmi) All England, ke Kanada dan Amerika Serikat. Ketiga-tiganya saya juara dalam kurun waktu sekitar tiga minggu,” tutur Tan Joe Hok.

Tak hanya berhasil tampil sebagai orang Indonesia pertama yang mampu juara All England, pada tahun 1959, Tan Joe Hok rupanya juga memikat publik di Amerika Serikat.

”Saya dimasukkan di majalah Sports Illustrated,” tutur Tan Joe Hok. Majalah itu masih rapi disimpannya dan, memang, profil Tan Joe Hok menghiasi dua halaman majalah tersebut, terbitan 13 April 1959.

”Wonderful World of Sports. Tan Joe Hok Takes Detroit...”, tulis majalah tersebut. Ada satu foto besar Tan Joe Hok yang berselonjor dengan kedua telapak kaki telanjangnya melepuh-darah, blood-blister, setelah menjuarai AS Terbuka.

”Ketika dioperasi, isinya darah dan nanah,” tutur Tan Joe Hok. Hadiah juaranya? Tan Joe Hok mendapat kesempatan untuk meninjau pabrik mobil di Detroit.

Cita-cita apa lagi? Menurut Tan Joe Hok, semua impiannya sejak masa kecil dan juga ketika remaja sudah tercapai semua. Cita-cita berikutnya, Tan Joe Hok ingin menggapai sukses dalam studi.

Sejak tahun 1959 itu, Tan Joe Hok studi di Texas, memenuhi beasiswa dari Baylor University Jurusan Premedical Major in Chemistry and Biology.

”Antara tahun 1959-1963 (saat menyelesaikan studi di Baylor), saya masih sempat pulang untuk mempertahankan Piala Thomas 1961 di Jakarta serta 1964 di Tokyo. Tahun 1962, saya juga pulang untuk Asian Games,” kata Tan Joe Hok, yang menjadi atlet bulu tangkis pertama yang meraih medali emas di arena Asian Games.

Meski demikian, ada juga ”pengorbanan” yang dilakukan Tan Joe Hok untuk bulu tangkis. Gara-gara ia harus pulang untuk mempertahankan Piala Thomas di Tokyo 1964, studi S-2-nya di Baylor gagal lantaran kurang empat jam kredit (credit hours), maka dia tak lulus, tutur Tan Joe Hok.

Situasi konfrontasi, Bung Karno mencanangkan ”Ganyang Malaysia” dan ”Ganyang Antek Imperialis”, membuat Tan Joe Hok mengurungkan niatnya untuk kembali ke AS meneruskan studi S-2. Ia lalu tinggal di Tanah Air.

”Apa kata Bung Karno, saya nurut saja. Saya malah sempat main di perbatasan Kalimantan sampai ke Mempawah, menghibur sukarelawan kita di medan perang,” ungkap Tan Joe Hok.

”Dulu Ganyang Amerika, eh, tahun 1965 giliran Ganyang China. Dampaknya, kita yang nggak ngerti apa-apa jadi kena,” tutur Tan Joe Hok.

Di pelatnas Senayan pun terjadi perubahan drastis. Suatu siang, di flat atlet—kini Plaza Senayan—Kolonel Mulyono dari CPM Guntur, Jakarta Pusat, mengumpulkan para atlet.

”Kami semua disuruh ganti nama begitu saja. Pak Mulyono yang tentukan,” tutur Tan.

Maka, anggota-anggota Piala Thomas pun ”diberi nama” Indonesia, Ang Tjing Siang menjadi Mulyadi, Wong Pek Sen menjadi Darmadi, Tan King Gwan menjadi Dharmawan Saputra, Lie Tjuan Sien menjadi Indra Gunawan, Tjiong Kie Nyan menjadi Mintarya, Lie Poo Djian menjadi Pujianto, dan Tjia Kian Sien menjadi Indratno.

”Saya diberi nama Hendra oleh (Panglima Kodam Siliwangi) HR Dharsono. Kartanegara saya karang sendiri, pokoknya ada ’tan’- nya,” papar Tan Joe Hok.

Ternyata tak sesederhana pergantian nama. Perlakuan terhadap Tan Joe Hok dan kawan- kawannya itu ternyata ”dibedakan”.

Mengurus KTP dan paspor, mereka harus menunjukkan bukti Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI) meski nyata-nyata bertahun-tahun mereka sebenarnya telah berjuang untuk negeri ini. Itulah namanya dinamika hidup, terkadang manis, ada waktunya pula pahit-getir. (Jimmy S Harianto, Kompas, Minggu, 7 Desember 2008)

Tati Sumirah,Ratu Bulutangkis INDONESIA yang terlupakan !!

Tati Sumirah (55 tahun). beliau adalah mantan pebulutangkis indonesia di era 70'an. beliau juga termasuk pebulutangkis yang mempunyai segudang prestasi loh gan ! Pada masa kejayaan dulu, Tati selalu merebut emas di arena Pekan Olahraga Nasional (PON). Ia juga meraih peringkat kedua kejuaraan dunia bulutangkis di Jakarta dan Kuala Lumpur, Malaysia. Prestasi tertingginya mengantarkan tim bulu tangkis single putri merebut Piala Uber pada 1975. pebulutangkis perempuan seangkatan Liem Swie King ini menjadi ratu. Ia bukan hanya ratu dalam negeri, tapi juga ratu bulutangkis kelas dunia.


Namun setelah menggantungkan raket pada 1981, kehidupannya berubah drastis. Tak ada lagi yang mengelu-elukannya. Ia seolah menghilang dari para penggemarnya. Bintang itu pelan-pelan pudar. Selama 24 tahun Tati Sumirah bekerja di Apotek Ratu Mustika di bilangan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan. Kasir, itulah profesi baru si ratu bulutangkis.

Si ratu itu berangkat dan pulang kerja dengan angkutan umum. Ia tinggal di rumah orang tuanya di Waru Doyong, Buaran, Jakarta Timur. "Saya nggak malu. Saya terima apa adanya," kata Tati saat ditemui VHRmedia di rumahnya.

Profesi kasir apotek bukanlah pekerjaan yang ia bayangkan. Semua berawal saat ia bertemu Yusman, warga Gudang Peluru, Tebet, yang merupakan pengagumnya. Melihat Tati Sumirah tak punya pekerjaan, Yusman pun mempekerjakannya sebagai kasir di apotek miliknya. Yusman juga mengangkat pebulutangkis kesohor, Ivana Lie, sebagai anak angkat.

Sebagai kasir, Tati mulanya digaji Rp 75 ribu per bulan. Selama mengikuti Pelatnas pada 1979, Tati menerima "gaji buta" dari apotek itu, sebab dalam sebulan ia hanya bekerja selama sepekan. Setelah pensiun pada 1981, barulah ia bekerja penuh waktu di apotek itu. Sebenarnya gaji Tati tak mencukupi. Apalagi sulung enam saudara ini harus menanggung hidup ibu dan dua adiknya. Akhirnya, pada Desember 2005 Tati berhenti kerja dari tempat itu. Gajinya waktu itu Rp 800 ribu per bulan. "Saya harus beli sembako, bayar listrik. Pokoknya semuanya saya," ungkap perempuan yang masih melajang ini.

Ia sempat menganggur sekitar empat bulan. Akhirnya ada ajakan bermain di turnamen antarveteran pebulutangkis di Mangga Besar, Jakarta Barat. Acara ini dimotori Alan Budikusumah, mantan bintang bulutangkis yang kini menjadi pengusaha peralatan bulu tangkis. Alan memberikan semua peralatan secara gratis: raket, kaos, celana pendek, sepatu, hingga tas raket. "Senang dapat pekerjaan lagi, karena saya bingung kalau belum dapat kerjaan," keluh wanita bertinggi badan 170 sentimeter ini.

Karena ikut turnamen, Tati kembali memegang raket setelah 24 tahun ia tanggalkan. Untuk pertama kalinya pula ia kembali berkumpul dengan rekan-rekannya sesama pebulutangkis. Ia menang dan mendapatkan hadiah sepeda motor. "Selama kerja 24 tahun menjadi pebulutangkis, saya nggak punya apa-apa," katanya. Sejatinya Tati pernah merasakan memiliki sepeda motor dari jerih payahnya di lapangan bulutangkis. Ketika Indonesia menjuarai Piala Uber, Tati dan rekannya memperoleh bonus Rp 1 juta dari Presiden Soeharto. Dari hadiah itu ia membeli Vespa seharga Rp 464 ribu. Namun pada 1992 ia terpaksa menjual motor kesayangannya itu karena terdesak kebutuhan hidup.

Bersama dua rekannya, Tati menjadi pelatih bulutangkis di Pekayon, Bekasi, Jawa Barat. Ia bekerja dari Senin sampai Jumat. Namun hanya bertahan setahun. "Badan saya mulai sakit," kata Tati. Hingga akhirnya ia diangkat sebagai pegawai oleh Rudy Hartono, juara All England delapan kali, untuk bekerja di Top One. Di perusahaan minyak pelumas itu Tati bekerja di Bagian Umum. "Tugas saya mengontrol kantor dan lapangan," ujarnya.

Meski keadaannya cukup memprihatinkan, Tati menerima semua itu. Namun ekonomi keluarganya masih morat-marit. Bahkan, telepon rumah atau telepon genggam pun Tati tak punya. "Kalau pasang telepon, dari mana uangnya?" katanya. Walau miskin di usia tua, Tati tak pernah menyesal menjadi atlet. Apalagi ia berasal dari keluarga atlet. Ayahnya, MS Soetrisno, adalah seorang atlet, penjaga gawang dan petinju. Sang ayah pula yang mendorongnya menjadi atlet.

Kini, sederet medali dan piala yang pernah diraih Tati masih disimpan di rumah orang tuanya. Piala dan medali itu tak terawat, sebagian sudah karatan. Namun semua itu ia taruh di dalam kotak. Ia mengaku tidak mau mengingat kejayaannya di masa lalu. "Saya sudah tidak mau ingat lagi. Sedih saya! Sekarang hidup saya seadanya dan serba kekurangan," ujarnya.

Raut wajahnya tiba-tiba menjadi muram. Kesedihan terpancar di wajahnya yang menua. "Semoga atlet-atlet lama dibantu pemerintah. Saya seneng bener kalau dapat rumah," kata Tati diiringi tawa sumbang.


atlit-atlit jaman dulu itu kalo misal nya lagi tanding dalam jangka internasional semacam thomas dan uber cup gini,mreka hanya mikir 1 hal,yaitu berusaha sekuat tenaga untuk menang dan mengharumkan nama bangsa..ga lebih dari itu,lain hal nya dengan atlit skarang yang kalo menang dapet bonus jutaan bahkan puluhan juta rupiah.

Skarang kehidupan sang ratu bulutangkis ini sangat-sangat miris. .bekerja jadi kasir dgn penghasilan pas-pasan. bayangin aja selama 24 tahun jadi pebulutangkis beliau ga dapet apa-apa.

Tong Sin Fu "Legeda Bulutangkis Dunia yang dibuang Indonesia"

Siapa yang tak mengenal Lin Dan saat ini ? ya seorang pemain bulutangkis cina yang sangat di takuti setiap lawannya. Peraih medali emas olimpiade Beijing 2008, juara World Championship 2006 Madrid, 2007 kualalumpur, 2009 hyderabad, Juara Thomas cup (team ) 2004 jakarta,2006 Tokyo,2008 jakarta,2010 malaysia.Tapi tahukah anda siapa Man behind the gun nya ? Masih ingat Alan Budikusuma & Susi Susanti peraih medali emas olimpiade Barcelona 1992, ini pun tak luput dari sentuhannya.Ardi B. Wiranata peraih medali perak olimpiade Barcelona 1992, dan Hariyanto Arbi juara all England 1993-1994 juara di kejuaraan dunia 1995 merupakan generasi emas sang legenda. Hendrawan peraih mendali perak olimpiade Sydney 2000 pun pernah merasakan didikannya.Mungkin kita tak pernah mengenal secara jelas sosok pelatih yang rendah hati ini, tapi bagi setiap pelatih bulutangkis dunia tak ada yang tak kenal dengan dia. Ya pelatih team bulutangkis cina saat ini tong sin fu. Siapa dia sebenarnya ? lahir dan besar di Indonesia di Teluk Betung, Lampung, 13 Maret 1942. "Di Tiongkok, namanya sering disebut Tang Xianhu atau Tang Hsien Hu, bergantung dialek daerah masing-masing. Tapi, orang tuanya memberi nama Tong Sin Fu sementara nama indonesianya Fuad Nurhadi. Tong merupakan salah satu pemain junior Indonesia terbaik di era 1950-an. Pada 1960, dia pergi ke Tiongkok bersama rekannya, Hou Chia Chang, asal Surabaya. Dia meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi sambil bermain bulu tangkis. Dia meninggalkan orang tua dan tiga saudaranya, yang saat itu tinggal di daerah Pejompongan, Jakarta.

Di Tiongkok karir bulu tangkis Tong Sin Fu melesat. Hanya dalam lima tahun dia sudah menjadi juara nasional. Gelar itu dikuasai sampai 1975. Hou Chia Cang juga berhasil. Mereka berdua dijuluki Raksasa Tiongkok karena keperkasaannya.

Sayang, ketika itu pemerintah Tiongkok tak mengizinkan atlet-atletnya mengikuti turnamen di Eropa atau di negara-negara yang tak sepaham. Akibatnya, nama mereka berdua tidak begitu dikenal secara internasional. Tapi, pers Barat yang mengendus keberadaan mereka menganggapnya sebagai kekuatan tersembunyi. Tong hanya tampil di Ganefo (Games of The New Emerging Forces) 1963 dan 1966. Dia menjadi juara tunggal pria.

Pada 1976, ketika rezim komunis Tiongkok mulai terbuka dan mengizinkan atlet-atletnya bermain di luar negeri, Tong dan Hou mulai menunjukkan kemampuan. Bahkan, di sebuah laga ekshibisi, Tong berhasil menggilas pemain terbaik Eropa saat itu, Erland Kops, dengan skor sangat telak, 15-0, 15-0. Oleh pers Barat, Tong dijuluki The Thing. Ketika itu dominasi tunggal pria dunia di tangan Rudy Hartono yang berhasil menjuarai All-England delapan kali. Tapi, Tong maupun Hou tidak sempat ditarungkan dengan jagoan Indonesia itu.

Mereka pernah bertemu Iie Sumirat dalam sebuah even antarpemain Asia di Bangkok pada 1976. Iie Sumirat berhasil memecundangi keduanya. Saat dikalahkan Iie Sumirat, usianya sudah 34 tahun. Tak lama kemudian, dia memutuskan gantung raket, dan menjadi pelatih.Tak kurang dari tiga puluh tahun dia menjadi pelatih bulu tangkis. Kepelatihannya berawal pada akhir 1979, saat dia mulai gantung raket. Selama enam tahun Tong memoles para pemain wanita Tiongkok. Di antaranya Li Lingwei dan Han Aiping. Dua pebulu tangkis andalan Tiongkok di era 1980-an. Setelah itu, akhir 1985, ia -- juga tak jelas bagaimana caranya -- pindah ke Macao. Sejak itu, mulai terdengar kabar burung ia membelot dan ingin melatih di luar RRC. "Rencana saya mula-mula memang mau melatih di Kanada," cerita Tong Sin Fu. Tapi, dua minggu sebelum teken kontrak, seorang teman lamanya, Budiman, yang kini juga ikut mengurus klub Pelita Jaya, meneleponnya dan menawarkan kans melatih. Klub milik Aburizal Bakrie ini memang sudah sekitar tiga bulan mendengar rencana Tong Sin Fu itu. Itulah sebabnya, setelah Budiman berhasil mengontak Tong Sin Fu, Eddy Yusuf, Wakil Ketua Umum PB Pelita Jaya, yang juga mengenal Tong kemudian segera diutus menemui pelatih itu di Hong Kong. Di sinilah, ketika Eddy yang mengikuti rombongan tim Indonesia ke kejuaraan Hong Kong Terbuka, semua pembicaraan, termasuk kontrak sebesar 750 dolar AS sebulan, dilakukan. "Keahliannya perlu kita manfaatkan," ujar Eddy Yusuf. Ia menambahkan, Tong tak hanya bisa melatih pemain, tapi bisa dimanfaatkan para pelatih di sini untuk teman diskusi. "Dan Pelita Jaya terbuka untuk itu," tambahnya lagi. Ternyata, tak begitu sulit mengusahakan kedatangan Tong ke mari. "Soalnya, dia itu kini warga negara Macao," kata Aburizal Bakrie, bos Pelita, yang mengatur proses kedatangan Tong. Ketua Bidang Dana PBSI ini mengaku sebelumnya memang sudah melaporkan rencana itu kepada Ketua Umum PBSI Try Sutrisno. "Jalan apa pun yang diambil asal untuk kemajuan bulu tangkis Indonesia, akan saya dukung," ucap Try seperti yang dikutip Aburizal Bakrie, ketika diminta pertimbangan soal Tong tadi. "Rencana PB Pelita Jaya mendatangkan Tong Sin Fu, memang sudah kita setujui. Yang penting bisa meningkatkan prestasi," kata P. Soemarsono, Sekjen merangkap Ketua Harian PBSI. Memang, untuk sementara Tong Sin Fu yang meninggalkan seorang istri dan seorang anak di RRC itu belum akan jadi warga negara Indonesia, kendati ia tetap berminat. Minat itu, katanya, "karena semua keluarga saya ada di sini." Pada 1998 dia memutuskan kembali ke Tiongkok setelah permohonannya menjadi warga negara Indonesia (WNI) ditolak. "Kenapa itu (penolakan menjadi WNI, Red) diungkit-ungkit lagi. Itu sudah cerita lama," kata pria yang kini menetap di Fuzhou tersebut. "Waktu itu saya sudah berusaha mati-matian untuk menjadi WNI, tapi tetap tidak dikabulkan. Apa mau dikata," katanya.

Dia hanya terdiam ketika ditanya apakah masih ingin menjadi WNI. "Saya cukup bahagia dengan posisi saya saat ini. Kalau toh bisa menjadi WNI, sekarang usia saya sudah lanjut," kata suami Li Qing itu, sembari sesekali membenarkan letak topinya.Ya kisah Tong Sin Fu mutiara yang dibuang, tapi tetap bersinar. Kisah diskriminasi yang masih terus berlanjut dibumi nusantara. Sebenarnya kalau china mau mengklaim medali emas yang diraih susi susanti dan alan budikusama pada saat olimpiade Barcelona 1992, itu bisa saja , karena meraka belum warga Negara Indonesia. Bayangkan saja …. John F kennedy “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country"Kalau di bumi nusantara kebalik “ask what your country can do for you….” Salute Tong Sin Fu sebuah legenda bulutangkis dunia yang akan terus dikenang dalam sejarah bulutangkis, ya salah satu Asset terbesar Indonesia yang dibuang percuma hanya karena warga kelas dua dan mungkin tak mampu membayar sogokan untuk SKBRI ya… Dokumen Drakula bagi mata sipit.

“Masihkah bisa Qta menjadi sahabat?”


^Masih adakah cinta^

Tak akan pernah sirnah bayang ttg dirimu
Mengharap kau kembali kedalam pelukan

Hanya Sesakan perih luka yg semakin dalam
Sampai kapan ku harus tangisi rindu yg tak terbalas

Masih adakah cinta untukku walau hanya utk kau kenang
Andai hrs kehilanganmu akan ku bawa hatimu ke dalam jiwaku

Kemana cinta ini akan ku persembahkan
Bila kesetiaanku hanyalah bagimu kekasihku

Luka di dalam dada semakin terasa pilu
Andaikan kesempatan untuk memiliki

Lagu Ada Band itu mengingatkanku pada seseorang.. Lagu itu sangat mewakili perasaanku. Lagi – lagi tentang cinta, semua karena cinta..


Tadinya hubunganku dengannya baik – baik saja. Kami sering sharing bareng kalau pas waktu Istirahat tentang pelajaran. Sampai saat dimana temanku sering meledeknya kalau aku menyukainya. Yaa, salahnya aku menceritakan perasaanku kepada temanku itu. 

Sejak saat itu setiap Qta dekat seperti ada yang beda,, nggak seperti sebelumya. Seperti ada tembok yang membatasi ruang gerak Qta. Dan Qta pun mulai saling menghindar,, entah siapa yang memulai???
Selama tiga tahun Qta satu kelas,, tapi Qta tidak pernah bertegur sapa lagi. Aku tahu kenapa dirinya seperti itu? Yaa,, aQ harus menerima kenyataan kalau ia mungkin tidak menyukaiku.

Ia jadian dengan temanku itu, teman yang selalu meledek aku dengannya. Rasanya sakit banget, tapi tak lama mereka jadian hanya satu hari. Tapi setelah kejadian ia diputuskan oleh temanku itu, ia berubah menjadi 180 derajat. Ia menjadi lebih pendiam,, mungkin temanku itu cinta pertamanya makanya ia sampai terluka seperti itu.

Dan lukanya itu makin parah karena ia harus merasa kehilangan lagi orang – orang yang benar ia sayangi yaitu Ibunya. Saat aku dan teman – teman ke rumahnya, aku lihat matanya seakan berbicara kalau ia sakit tapi aku tak bisa berbuat apa – apa karena hubungan Qta benar – benar Miss Comunication.

Waktu itu kenaikan kelas tiga, tentunya aku berharap agar bisa sekelas lagi dengannya. Aku berpikir aku hanya ingin melihatnya tanpa harus memilikinya. Aku ingin sekali melihat dia yang dulu sebelum ia terluka dan sejak ia dekat dengan seorang wanita yang satu kelas juga dengan aku dan dia,, ia sudah mulai menemukan cintanya. Aku bisa baca itu dari matanya,. Kali ini rasa sakit yang aku rasakan sangat luar biasa tapi bukannya sebelumnya aku sudah berjanji untuk ikhlas melepaskannya asal dia bahagia.

Mungkin bodohnya aku saat ia terpuruk, aku tak ada di sampingnya karena egoku yg terlalu besar. Itu  adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan.

Yang aku dengar kabarnya sekarang ia masih bersama dengannya walaupun sering putus nyambung putus nyambung. Mungkin dia telah menemukan cinta keduanya dan semoga menjadi cinta terakhirnya. Aku lega karena aku bisa merasakan kebahagiaannya. Syukurlah kalau dirimu bisa menemukan cintamu.. Satu pintaku yang sampai saat ini tak pernah berani ku utarakan padamu “Masihkah bisa Qta menjadi sahabat?”